IS IT FATE?

7:04:00 pm

Kiara memasuki bangunan putih di hadapannya. Semerbak aroma khas rumah sakit seketika menyambar indera penciumannya. Tidak seperti kunjungan sebelumnya, kali ini dia memilih untuk tidak menaiki lift karena beberapa alasan. Pertama, lantai yang dia tuju hanya berjarak satu lantai dengan tempatnya sekarang. Lalu yang kedua, hanya untuk berjaga-jaga agar tidak berpapasan dengan orang yang salah. Seperti Sang Ayah atau paling tidak Keenan misalnya.

Setelah menaiki anak tangga terakhir, Kiara bergegas mendekati meja resepsionis. Beberapa perawat tengah sibuk meneliti monitor di hadapan mereka. Sedangkan yang lainnya menuju ke ruangan pasien, seperti biasanya melakukan tugas hariannya.

Kiara menempelkan tubuhnya kearah meja resepsionis yang tingginya hampir tiga perempat tinggi tubuhnya sendiri.

Seorang perawat menyadari kehadiran Kiara. Dia mendongak, "Ada yang bisa kubantu?"

"Kau tau dimana dokter Dean? Dokter Dean Nasution?" Kiara bertanya. "Aku ada janji bertemu dengannya, tapi dia tidak ada di ruangannya." Jelas Kiara sambil sesekali menoleh ke kiri dan kanan.

"Ah, dokter Dean sedang ada operasi." Perawat dengan seragam biru muda itu menjelaskan. Dia menoleh kearah jam dinding yang diletakkan pada dinding bagian barat, "Operasi-nya akan selesai sepuluh menit lagi."

"Terima kasih." Kiara tersenyum. "Ah, aku bisa menunggunya disini, kan?"

"Tentu saja." Tukas sang perawat, kembali memperhatikan pekerjaannya.

Beberapa menit berlalu, Kiara masih tetap pada posisinya. Namun kali ini membiarkan punggungnya bersandar pada meja tinggi tersebut. Matanya masih sibuk mengutak-atik ponsel pada genggamannya. Sedangkan headset telah tersemat pada salah satu telinganya.

Kiara masih sibuk dengan dunianya sendiri, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang. Pemuda tersebut berhenti sejenak. Dia menghela napas terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Dia berjalan ke meja resepsionis.

"Bisa kuminta data pasien ruangan 203?" Pemuda itu bertanya kepada perawat yang sama. Wanita berseragam biru muda yang umurnya mungkin sudah lebih dari tiga puluh tahun.

Perawat Sarah menyerahkan sebuah map plastik, "Ada apa? Bukankah itu pasien dokter Lydia?"

Nama itu seperti sebuah sinyal yang selalu dapat tertangkap radar Kiara. Gadis itu mendongak. Seakan baru saja terpanggil. Kiara menyerukan kata 'oh' ketika matanya menangkap sosok pemuda yang telah berdiri di sebelahnya. Tanpa suara.

"Kita bertemu lagi." Sapa Kiara singkat. Kembali menatapi layar ponsel yang lebih menarik perhatiannya.

Daniel masih meneliti beberapa lembar kertas di hadapannya, "Apa yang kau lakukan disini?"

"Menunggu Dean." Ucap Kiara jujur.

"Dia sedang melakukan operasi."

Kiara masih dalam mode tak acuhnya. "Hm. Aku tau."

Ketimbang dua lakon yang terlibat, Sarah terlihat lebih tertarik mendengar perbincangan di antara mereka. "Kalian, saling mengenal?"

Baru saja Daniel akan berbuka suara, Kiara cepat-cepat berbalik dan menyambar. "Kami teman satu sekolah." Ucapnya sambil tersenyum.

Dari ujung lorong, muncul sosok Dean yang masih menggunakan pakaian operasi. Dia melepaskan penutup kepalanya. Melambaikan sebelah tangan sebagai isyarat kepada kedua orang di depan meja resepsionis.

Tidak perlu waktu lama bagi Kiara untuk segera tersadar. "Ah, aku harus pergi. Sampai jumpa Daniel." Ucap Kiara sambil setengah berlari kearah Dean.

Dean menunggu gadis itu sampai berdiri tepat di sebelahnya, kemudian mensejajarkan langkah mereka. Saling bersisian. "Kau kenal Daniel?" Tanya pemuda itu setengah berbisik.

Kiara tersenyum kearah Dean, "Kau bawa yang kuminta?" Dia balik bertanya. Sekaligus sebagai sebuah tamparan bagi Dean, seakan gadis itu baru saja mempertegas bahwa hal yang dia tanyakan bukanlah urusannya.

Daniel memandangi mereka sampai keduanya menghilang di balik lorong. Dalam diam. Tanpa suara. Hingga perawat di sebelahnya menyadarkannya, "Siapa dia?"

"Pacar Dokter Dean?" Sarah menambahkan kesimpulannya sendiri.

Mendengar ucapan Sarah membuat Daniel mengernyit bingung. Hanya karena seorang gadis bertemu dengan seorang laki-laki, bukan berarti mereka memiliki hubungan khusus bukan?

***

Pagi itu cerah. Tidak berawan. Tidak berpolusi. Atau paling tidak belum.

Baru pukul delapan pagi. Awamnya orang-orang baru saja mengenakan kemeja putih mereka. Rapi, bersih dan wangi. Namun bertolak belakang dengan orang lain, gadis itu sudah dipenuhi oleh bercak tanah di sekujur apron hitam yang melindungi tubuhnya.

Sekali lagi dia memisahkan beberapa tanaman hias yang terlalu rimbun. Kemudian meletakkannya pada polybag yang berbeda. Dia sudah bekerja sekitar satu jam dan menghasilkan lebih dari dua puluh polybag yang siap untuk dijual kembali.

Suara lonceng yang otomatis terdengar ketika pintu tokonya terbuka, membuat gadis itu berseru ceria. "Selamat datang!" Tukasnya sambil menoleh ke belakang.

Senyum yang terpeta di wajah manisnya seketika harus pudar, menyadari bahwa seseorang yang baru saja datang dan menarik sebuah kursi dan duduk pada salah satu meja bukanlah seorang konsumen.

Luna menghela napas. Seharusnya sadar bahwa tidak ada konsumen yang datang sepagi ini. Satu-satunya orang yang akan mengganggunya hanyalah gadis itu.

"Aku membelikanmu kopi." Kiara kembali menyeruput latte hangatnya. Pandangannya sibuk meneliti setiap sudut toko milik Luna. "Kau punya mata yang baik untuk bunga."

Luna memindahkan sebuah tanaman mawar ke dekat meja Kiara, "Jadi hal bodoh apa yang sudah kau lakukan?"

"Aku bahkan belum melakukan apapun." Kiara mengangkat bahu, seakan apapun yang sedang dia rencanakan bukan termasuk kategori bodoh yang sedang dibicarakan Luna.

Setelah Luna berhasil menyusun tanaman mawar di dekat pintu toko menjadi beberapa baris sesuai dengan warna bunga yang mereka miliki, gadis itu melepaskan sarung tangannya dan duduk pada kursi di seberang Kiara. "Ku dengar kau meminta obat pada Dean lagi."

"Apakah dia tukang gosip?" Cerca Kiara.

Luna menghela napas. "Sudah berapa kali kukatakan untuk mencari pekerjaan lain. Aku tahu hal seperti ini pasti akan terjadi."

Kiara sudah cukup mengerti bagaimana kekacauan di dalam hidupnya. Dia sudah cukup banyak mendapatkan wejangan dari orang-orang dan sepertinya enggan untuk menambahkan hal tersebut ke dalam memorinya lagi.

Dia lebih memilih untuk meneliti deretan mawar yang ditata oleh Luna. Beberapa diantaranya belum berbunga, beberapa yang lain sudah memperlihatkan kuncup dan sisanya baru saja mekar. Bagaimana bisa bunga-bunga itu menunjukkan variasi warna yang berbeda, padahal mereka adalah satu kesatuan yang serupa?

"Apa kau membuka lowongan pekerjaan?" Kiara menarik pandangannya, malas.

Luna merasa darah di tubuhnya naik dengan cepat. "Kau tidak mendengarkanku?"

"Aku sudah berhenti." Kiara meneliti kukunya yang kini diberi warna merah gelap. "Itu sebabnya aku datang kemari. Aku tidak benar-benar mengambil cuti."

Pandangan Luna melemah. Sejujurnya gadis itu tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. "Apakah itu semakin buruk?" Tanyanya perlahan. "Ah, maksudku kau bahkan tidak menghiraukannya dan terus meminta obat yang sama pada Dean."

Kiara tersenyum. "Bukan seperti itu. Aku baik-baik saja."

"Benarkah? Lalu kenapa?"

"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan." Kiara mengangkat bahu. Kembali menyandarkan diri pada tumpuan kursi.

***

Ada sebuah alasan mengapa Kiara enggan membagi ceritanya. Tentang kedatangannya, tentang tujuannya, bahkan tentang masalah yang menimpanya.

Itulah salah satu sebab mengapa gadis itu tidak menceritakan Luna seluruh bagian dari kisahnya. Hanya sebagian kecil yang mampu Kiara bagikan, namun hal tersebut sudah cukup mewakili akar dari permasalahan yang sedang dia hadapi.

Baginya datang ke kota ini setelah sekian lama menghilang adalah salah satu keajaiban yang tidak bisa diabaikan. Itulah mengapa orang-orang begitu tertarik dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Seperti tahun lalu, Fiona bahkan harus mengancam untuk memutus seluruh kartunya, apabila gadis itu tidak datang ke acara ulang tahun sang Kakek.

Sebegitu bencinya Kiara pada kota ini; lantas apa yang menyebabkan gadis itu rela menginjakkan kakinya kembali tanpa ancaman Ibunya?

Ponsel Kiara bergetar. Gadis itu berhenti pada persimpangan jalan. Lampu lalu lintas baru saja berubah hijau. Membuat para pejalan kaki sama-sama berhenti pada trotoar jalan.

"Hm?" Kiara meletakkan ponsel pada sebelah telinganya.

"Kau keluar?!" Suara seorang gadis terdengar dari ujung sambungan. Nada terkejutnya bahkan mengagetkan dirinya sendiri. "Bagaimana bisa kau keluar? Tidak. Tidak. Kupikir kau sedang cuti. Bukankah kau cuti?" Tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih pelan.

Kiara mengernyit. "Apa yang sedang kau bicarakan?"

Jean menghela napas. "Kupikir kau sedang cuti karena masalah keluarga. Wah, aku bahkan menyumpahimu setiap hari. Bagaimana mungkin kau cuti sedangkan kami bekerja tanpa diberi tidur. Tetapi barusan aku tidak sengaja menemukan surat pengunduran dirimu di meja direktur. Apa maksudnya ini?"

"Hm." Kiara mengangguk, meskipun tahu betul lawan bicaranya tidak dapat melihatnya. "Aku memang keluar. Siapa yang mengatakan aku sedang cuti?"

Jean kembali bersuara cepat, "Tentu saja direktur."

"Juna mengatakannya?" Kiara mengerutkan dahi. "Baiklah. Akan kuurus semuanya."

Kiara kembali memasukkan ponselnya tepat ketika lampu lalu lintas kembali berubah. Dia melangkah cepat, beriringan dengan beberapa pejalan kaki lainnya. Setelah sampai di seberang jalan, Kiara mendongak sambil merapal dalam hati tulisan minimarket di atas sana. Gadis itu meletakkan sebelah tangannya di atas untuk menghalangi silaunya sinar matahari, namun tidak sengaja memfokuskan pandangan pada seseorang yang berada di dalam minimarket.

"Dia lagi?" Kiara bergumam. "Tidakkah sesuatu seperti ini bisa dikategorikan sebagai takdir?"

***


Not all the roses smell nice tho,
not you, not her.


with me on my busiest time but I update anyway,
-dandelion.

You Might Also Like

0 comments