HOSPITAL

5:42:00 pm

"Jadi kapan kau kembali?"

Kiara masih bersandar pada tumpuan kursi ketika suara itu mengejutkannya. Gadis itu otomatis memasukkan ponsel ke dalam saku dan meneliti pekerjaan yang sedang menyibukkan Fiona.

Sebelah tangan wanita itu masih menggenggam sprayer kecil berisi air penuh, sedangkan tangan lainnya digunakan untuk mengangkat satu persatu daun tanaman hiasnya. Seakan tekanan berlebih dapat langsung menghancurkan mereka.

"Kau sudah terlalu lama disini. Karyawan biasa pasti sudah dipecat." Fiona masih menyirami tanaman hiasnya dengan hati-hati. "Apakah kau mendapatkan perlakuan khusus hanya karena kau pacar Juna?"

Kiara mendengus pelan. "Ibu bicara apa." Gumam Kiara malas. Sebelah tangannya memijat dahinya sendiri. Rasa pening menjalari kepala Kiara dengan cepat.

Fiona menghentikan kegiatannya sesaat. "Lalu putuskan lah."

"Putuskan? Apa?" Tanya Kiara.

Kedatangan seorang pelayan ke dalam taman bunga Fiona, membuat kedua lakon disana membisu sesaat. Pelayan dengan seragam serba hitam tersebut meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja bersama dengan satu piring penuh kue yang dipesan majikannya. Setelah menyelesaikan tugasnya, pelayan tadi segera mengundurkan diri.

Aroma dari teh chamomile menjadi sebuah pertanda bagi Fiona untuk menyudahi pekerjaannya. Wanita itu meletakkan sprayer dan duduk di salah satu kursi. Dia menyeruput teh dari cangkir untuk beberapa saat. Lantas kembali mengarah ke Kiara yang duduk di hadapannya. "Kau harus berhenti bermain-main. Kau tahu bahwa Ayahmu tidak akan setuju dengan Juna, bukan?"

Kiara menyeringai. Sama sekali tidak terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Ibunya. Seakan sudah menduga bahwa kalimat semacam itu pasti akan didengarnya suatu saat nanti.

"Ibu." Kiara tiba-tiba bersuara.

"Hm?"

"Jika suatu saat aku tetap bersikeras dengan Juna. Apakah Ibu akan diam-diam mendatanginya tanpa sepengetahuanku?" Kiara meraih cangkir miliknya. Ikut menyeruput teh chamomile favorit Fiona. Meskipun lebih memilih kopi daripada teh, namun Kiara mau tidak mau harus tetap meminumnya. Apalagi sudah beberapa hari ini dia terus dilanda insomnia.

Fiona mengerutkan dahi. Dia meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. Badan tegaknya sama sekali tidak berubah. "Jika itu harus, maka akan kulakukan."

"Lalu apakah kau akan menamparnya? Atau menyiramnya dengan air?" Kiara terlihat semakin tertarik dengan topik pembicaraan mereka.

Berbeda dengan Kiara, Fiona merasa tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Wanita itu mengernyit sambil meneliti raut wajah anaknya. Masih tidak terbaca. Sejauh yang Fiona ingat, Kiara memang enggan membuka dirinya pada orang lain. Apapun yang tengah gadis itu pikirkan, maka akan dipendamnya seorang diri. Bahkan Fiona selalu gagal untuk mengartikan tatapan kelam gadis itu.

"Apakah masih ada orang tua yang melakukan hal seperti itu?" Fiona membalas. "Ibu pikir itu tidak berkelas."

Mendengar jawaban Fiona membuat Kiara tersenyum simpul. Seakan berhasil menjawab teka-teki yang selama ini selalu dia pikirkan.

Fiona memicikkan mata. "Kenapa? Apa ada orang yang menamparmu?"

Kiara menyeringai. "Jika itu terjadi maka aku akan menamparnya kembali." Ucapnya santai.

***

Rumah sakit bukanlah tempat yang familiar bagi Kiara. Meskipun Kakek dan Ayahnya sudah bekerja di rumah sakit sejak Kiara mengenal dunia, gadis itu selalu risi dengan suasana rumah sakit. Baginya tempat itu terlalu monoton. Aromanya yang menyengat menjadi alasan lain mengapa Kiara lebih suka berdiam diri di rumah ketimbang harus mendatanginya setiap hari.

Namun entah mengapa sejak kedatangannya kembali ke kota ini, Kiara selalu mendapati dirinya kembali ke rumah sakit. Hal tersebut seperti menjelaskan bahwa orang-orang yang dicarinya tidak punya tempat singgah selain berada disana.

Satu-satunya nilai plus dari rumah sakit itu adalah sebuah cafe yang berada di lantai dasarnya. Dean adalah orang yang memperkenalkan Kiara latte di tempat itu. Kiara tahu bahwa dirinya begitu lemah dengan kopi dan bisa meminumnya terus menerus, terlebih untuk latte.

Hingga hari itupun, Kiara sudah duduk pada salah satu kursi dengan segelas ice latte yang baru saja diambil dari bartender.

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan daripada memainkan ponsel dengan ditemani segelas latte pada cafe sepi tanpa perlu khawatir suara orang yang berlalu-lalang. 

Hari sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sehingga secara rasional, jam kerja rumah sakit sudah hampir berakhir. Tinggal satu jam lagi sampai waktu kunjungan akan ditutup. Itu berarti masih ada enam puluh menit lagi sampai Kiara beranjak dari tempat itu.

"Kau benar-benar berpikir rumah sakit adalah taman bermain?" Suara sarkas itu tiba-tiba masuk ke pendengaran Kiara. Memaksa Kiara untuk mendongak dan mendapati seorang gadis dengan jas putihnya melangkah melewati tempatnya dan berhenti di depan kasir.

Kiara mengerutkan dahi. 

Hari ini adalah hari yang baik, tentu hanya sampai sebelum kedatangan Lydia. Sejujurnya apapun yang menyangkut gadis itu adalah sebuah pertanda buruk bagi hidup Kiara. Hanya mendengar seseorang menyebut namanya saja sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah kesialan.

"Kau tidak punya pekerjaan lain, selain datang kemari?" Lydia kembali menoleh kearah Kiara. Kali ini sambil menggenggam segelas americano.

"Hei, aku tidak tahu bahwa kehadiranku membuatmu begitu terganggu." Ungkap Kiara sambil memainkan jemarinya. "Bukankah seharusnya aku yang terganggu?"

Kiara terpaksa bangkit. Suasana hatinya sudah terlanjur mengeruh. Lydia bukan saja telah mengganggu waktunya yang berharga, juga merusak suasana hati yang susah payah dibangun Kiara sejak beberapa hari terakhir. Bertemu dengan gadis itu seakan telah meluluh-lantahkan pertahanannya sendiri.

Kiara tahu bahwa berdiam lebih lama disana, hanya akan berujung pada hal yang lebih buruk daripada sekedar saling menjambak.

"Ah," Kiara kembali bersuara. "Kau tidak lupa bahwa rumah sakit ini milik Ayahku, bukan?"

Kiara menatap Lydia dalam. Dapat merasakan bagaimana gadis itu mengepalkan kedua telapak tangannya. Sekuat tenaga menahan amarah hanya karena tidak setuju dengan apa yang baru saja Kiara ucapkan. 

Bagi Lydia, rumah sakit ini tetaplah milik Ayahnya. Itulah salah satu alasan mengapa dia bekerja begitu keras hanya untuk mempertahankan rumah sakit peninggalan sang Ayah. Setidaknya suatu hari nanti dapat kembali memilikinya lagi. Setidaknya tempat itu tidak akan jatuh ke tangan orang seperti, seperti Kiara.

"Kau harus mengontrol amarahmu. Sudah hampir sepuluh tahun, tetapi kau sama sekali tidak berubah." Kiara menepuk sebelah pundak Lydia. Seakan benar-benar prihatin dengan keadaan Lydia.

Lydia menjumput beberapa anak rambutnya yang terjatuh dan menjangganya ke belakang telinga. Gadis itu tersenyum. Terlalu sumringah untuk ukuran orang normal. Dia berbalik, mendapati Kiara yang sudah berjalan menjauh. 

Salah satu kesalahan yang selalu dilakukan olehnya, mengompori Kiara. Kali ini tanpa sadar, kembali dilakukannya.

"Bagaimana tanganmu?" Lydia tahu bagaimana cara menarik perhatian Kiara. Satu-satunya hal yang masih dapat menjerat gadis itu; "Kau masih merasakan sakit, bukan?"

Lydia merasakan kemenangan telah sampai dipundaknya. Dia tahu bahwa rencananya berhasil, tepat ketika gadis itu menghentikan langkahnya. "Daripada bermain-main disini, bagaimana jika kau berlatih kembali? Tidak ada yang tahu, mungkin saja-"

Belum sempat kalimat itu terampung, ice latte yang sejak tadi digenggam Kiara telah mendarat sempurna di wajah Lydia. Rambutnya berubah lepek, beberapa tetesan cokelat itu terlihat sampai ke lantai marmer di bawah mereka. Sebagian menyisakan bercak gelap pada jas putih yang dia kenakan.

Tidak ada yang dapat menggambarkan betapa terkejutnya Lydia saat itu. Dia benar-benar terdiam untuk beberapa detik. Sedang berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya.

Kiara menghela napas. "Aku salah. Ternyata akulah orang yang harus mengontrol amarahku." Kiara meletakkan gelas kosong di atas meja, lantas membersihkan sisa latte dari kedua telapak tangannya. 

Kemudian dia beralih kearah Lydia, secara sukarela membersihkan wajahnya dengan sapu tangan yang sama. "Ibuku berkata menyiram seseorang dengan minuman seperti ini adalah cara yang tidak berkelas." Kiara menjelaskan. "Tapi bagaimana ini? Tanganku bergerak dengan sendirinya."

Butuh beberapa detik bagi Lydia untuk mendapatkan kesadarannya kembali. Hal pertama yang dia lakukan adalah menepis tangan Kiara menjauhi wajahnya. Rahang-rahang gadis itu mengeras. Dia masih berusaha untuk memedam amarahnya sendiri. Apapun yang terjadi, Lydia tidak boleh kehilangan kontrol. Tidak di rumah sakit ini.

Kiara menyeringai. "Oh, bukanlah itu Daniel?"

Lydia menoleh. Terdapat dua orang yang sedang berjalan kearah mereka. Salah satu diantaranya berjalan lebih cepat.

"Bukankah dia orang yang selalu kau kejar dari dulu?" Kiara melipat kedua tangannya di depan. "Bukanlah sudah saatnya untuk mendapatkannya?"

"Tutup mulutmu." Lydia bersuara.

Kiara melangkah pelan, setengah berbisik. "Atau haruskah kutunjukkan bagaimana cara memenangkan hatinya hanya dalam waktu singkat?"

"Kau, benar-benar-" Sebelah tangan Lydia sudah bergerak naik. Namun gerakannya tertahan oleh tangan Dean yang tiba-tiba sudah menyangganya dari belakang.

"Apa yang kalian lakukan?!" Pemuda itu berusaha melerai. "Apakah tidak ada hal lain yang bisa kalian lakukan selain bertengkar?"

Lydia menepis Dean. Gadis itu melangkah pergi meskipun kakinya sempat tertahan ketika matanya bertemu dengan mata pemuda lain yang berdiri tidak jauh diantara mereka. 

Daniel diam seribu bahasa. Tidak bertanya. Tidak juga mencegah Lydia untuk tidak meninggalkan tempat itu.

***

"Apa yang kau lakukan?" Dean bertanya setelah berhasil mengiring Kiara keluar dari bangunan rumah sakit. Angin malam menusuk kulit keduanya, membuat pemuda itu meringis. Baru saja teringat bahwa dia hanya menggunakan kemeja dan jas putih untuk menyelimuti tubuhnya.

"Kau tahu Ayahmu tidak akan diam jika dia melihat apa yang baru saja kau lakukan?" Dean mengeratkan jas miliknya, meskipun hal tersebut tidak begitu menghangatkan.

Kiara tidak mengerti bagaimana pemuda itu selalu memperlihatkan reaksi yang berlebihan. "Dia tidak akan tahu. Kecuali jika kau memberitahunya."

"Kau pikir aku satu-satunya orang yang melihat kalian?" Dean berseru.

Ada sebuah 'ah' panjang yang keluar dari mulut Kiara, sebagai pertanda bahwa gadis itu baru mengerti situasi yang akan dia hadapi. Meskipun sudah cukup mengerti dengan banyak kemungkinan yang dapat terjadi setelahnya, Kiara tetap memutuskan untuk tidak peduli.

"Berikan aku kunci apartemenmu." Kiara memerintah. Sebelah tangannya diarahkan ke hadapan Dean, seakan menyuruh pemuda itu segera menyuguhkan benda kecil yang dia maksud.

Dean tidak langsung mengiyakan. "Kenapa kau perlu kunciku?"

Kiara mendengus malas. "Kau tidak pulang, kan?"

"Hm." Dean mengangguk pelan. "Lalu apa hubungannya denganmu?"

"Aku mau menginap. Cepat berikan." Perintah Kiara semakin memaksa. Tingkat kesabaran Kiara bukanlah hal yang tidak berujung. Sebaliknya, milik gadis itu adalah yang akan paling cepat menghilang.

Dean terlihat tidak yakin, namun tetap merogoh sakunya. "Bukankah kau tinggal di apartemen Keenan?" Tanyanya sambil memberikan sebuah kunci dengan mainan menara Eiffel.

Kiara mengangguk dan menerima kunci tersebut dengan sebuah senyuman. "Dia tidak punya shift malam ini. Aku  berkata padanya bahwa aku akan pulang."

Arah pembicaraan keduanya semakin membuat Dean kebingungan. Pemuda itu masih mengerutkan dahi. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang berusaha Kiara jelaskan. "Jadi kenapa kau menginap di tempatku, jika seharusnya sekarang kau berada di rumah?"

"Kau gila?" Kiara menepuk ujung kepala Dean, setelah bersusah payah mencapainya sambil berjinjit.

Dean otomatis meringis dan langsung memegangi kepalanya. Gadis itu sama sekali tidak berubah. Tangannya masih ringan seperti biasa. Meskipun Dean sudah memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi daripada Kiara, sama sekali tidak membuat gadis itu gentar. Dia masih sama memukulinya dengan sesuka hati.

"Bagaimanapun, aku tidak akan pulang ke rumah." Tukas Kiara mantap.

Masih memegangi ujung kepalanya dengan satu tangan, Dean kembali bersuara. "Lalu kau mau kemana? Kau tidak pergi hanya untuk menghindari Keenan, bukan?"

Dean mengenal Kiara. Gadis itu tidak akan berbohong jika tidak punya sesuatu yang ingin disembunyikannya.

Kiara memasukkan kunci apartemen Dean ke dalam saku coat-nya. "Aku mau pergi ke club." Ucap Kiara sebagai sebuah kalimat penghujung. Dia berjalan menjauh, sebelah tangannya dilambaikan sebagai tanda perpisahan.

"Hei! Ini sudah malam!" Dean setengah berteriak.

Kiara memasukkan kedua tangannya pada saku coat, lantas berbalik. "Kau pikir kenapa mereka menamainya club malam?!"

***

I drowned myself in memories, but it didn't help at all.
with cheese, coffee and yui's; it's happy line.
-dandelion

You Might Also Like

0 comments