HER

9:52:00 pm

Kiara.

Sebuah nama yang selalu menimbulkan tanda tanya. Dia adalah simbol keabu-abuan terbesar yang pernah ada. Dia tidak terbaca. Tidak terjamah. Tidak pernah mampu diartikan oleh pikiran Daniel.

Dia tidak  relevan bagi seorang Daniel. Sampai pada akhirnya pemuda itu menemukannya.

Hari itu, seorang gadis dengan apron basah kuyup memasuki cafeteria ditemani seorang gadis lain yang berusaha mengejarnya. Ingin segera menghentikan apapun kegilaan yang akan dibuat oleh temannya.

Potret yang tidak biasa dengan lakon yang tidak biasa. Setuju ataupun tidak, manusia pada dasarnya  pasti menyukai drama. Hingga ketika disuguhkan dengan cuma-cuma, mereka  akan menontonnya dengan suka rela.

Siang itu, ada yang lebih menarik dari sekedar minuman dingin yang menjadi antrian para siswa. Seluruh mata tertuju pada seorang gadis yang menyisakan bercak cat basah pada setiap langkah yang diambilnya. Tanpa sadar sudah mengotori lantai cafeteria dan sama sekali tidak terganggu dengan hal tersebut.

Ada sebuah hal istimewa dari rute langkah yang gadis itu pilih. Seakan sudah menargetkan seseorang jauh sebelum kedatangannya kesana.

Gadis itu berhenti pada satu titik. Berdiri tepat disebelah sebuah meja. Atmosfer disekeliling mereka menegang. Hanya menyisakan sedikit ruang untuk menerka-nerka. Apa yang akan dia lakukan?

Hanya berselang sepersekian detik, sampai segelas jus jeruk itu dijatuhkan tepat dari atas kepala Lydia. Seseorang yang normal akan langsung berteriak, menampar atau melemparkan balik minuman lain kearah musuhnya. Namun tidak dengan Lydia. Gadis itu masih mengatur napasnya satu-satu. Dia meredamnya.

Lydia mendongak, menghentakkan sendok pada genggamannya. Pandangannya merendahkan, seakan sudah cukup muak dengan omong kosongnya.

"Kau mengganggu orang lain." Lydia bersuara. Mewakilkan suara-suara lain di ruangan tersebut. Namun, seharusnya tidak dia lakukan.

Gadis menyeringai. "Aku hanya membantumu merasa lebih segar. Kupikir kau suka dengan air." Ucapnya lalu berbalik pergi, meninggalkan puluhan pasang mata yang menatapnya hingga keluar dari panggung. Beberapa diantaranya hampir memberikan tepuk tangan. Sedangkan sisanya berbisik kecil; Dia sudah gila.

"Kau sudah gila." Luna menyuarakan isi hati dari setengah penghuni cafeteria.

Gadis itu menutup lokernya. Sudah mengganti seragamnya yang basah dengan seragam olahraga. Melipat paksa seragam tersebut dengan apron hitamnya yang juga menjadi korban, kemudian membuangnya ke tempat sampah. "Kau pikir dia tidak gila?"

Luna mengejar langkahnya, "Bagaimana jika bukan Lydia yang menyuruh orang untuk menyiram-mu?"

Gadis itu terlihat berpikir. "My bad."

Setelah kepergian keduanya, dua lakon lain yang berdiri pada loker mereka memulai perbincangan.

"Siapa dia?"

"AhDia? Dia, Kiara."

Suatu siang di tahun keduanya, ketika orang-orang tengah mempersiapkan diri dalam pertempuran ujian semester. Hari itu adalah pertama kalinya Daniel melihat Kiara.

Lantas hari ini, dia melihatnya lagi.

Daniel tidak pernah merasa begitu kebingungan di dalam hidupnya. Ketika bel itu ditekan, satu-satunya orang yang seharusnya keluar adalah si pemilik. Bukan seorang gadis dengan uraian rambut berantakan, dengan kaos putih polos dan celana training hitam serta mata sipit yang masih berusaha untuk terbuka.

"Hm?" Gadis itu mendongak. "Kau mencari Dean?" Dia menerka. Tentu saja, siapa lagi yang akan dicari oleh pemuda itu selain Dean.

Hal yang lebih membingungkan Daniel adalah kenyataan bahwa gadis itu sama sekali tidak terganggu. Dia sama sekali tidak terkejut. Tidak berusaha untuk menata kembali rambutnya. Atau setidaknya tersadar tentang sekelilingnya.

"Kau menginap disini?" Daniel bertanya.

Kiara mengerang pelan, "Hm." Dia merasakan kepalanya yang terasa hampir pecah. Alkohol memang teman terburuk yang dia miliki. "Dia tidak kembali. Kau tidak tau?"

Daniel mengerutkan dahi. Terdapat beberapa hal yang ingin dia katakan, namun urung dia lakukan. "Aku harus pergi." Ucapnya pada akhirnya.

Kiara hanya mengangguk, melambaikan sebelah tangan sebagai sebuah tanda perpisahan lantas kembali menutup pintu.

Gadis itu berjalan memasuki kamar Dean, namun sempat terhenti di hadapan sebuah cermin raksasa yang tergantung di dinding. "Aku bahkan tidak tahan melihat diriku sendiri, bagaimana mungkin dia tidak melarikan diri." Gumam Kiara sambil menaiki ranjang lalu kembali terlelap.

***

"Let me tell you something about coincidences. There have to be at least three of them for it to have any meaning." -Junki to Jungun on Waikiki.


I see purple, marine, and my post note;
-dandelion.

You Might Also Like

0 comments