FAMILY GATHERING

11:36:00 pm

Pukul delapan malam.

Lima belas menit sebelum acara makan malam dimulai. Acara yang selalu diadakan setiap satu bulan sekali tersebut kali ini diselenggarakan di kediaman Lazuardi. Malapetalaka bagi Kiara, karena mau tidak mau diharuskan hadir sebagai tuan rumah. Walaupun tidak tahu apa fungsi dirinya, selain menjadi bahan pembicaraan keluarganya -dalam konteks buruk tentunya.

Namun malam itu sepertinya Kiara tidak menunjukkan penolakan yang berarti, seperti apa yang selalu dia lakukan sebelumnya. Jika ada sebuah penghargaan untuk anggota yang sering absen dengan alasan tidak masuk akal, maka gadis itu tentu akan memenangkannya.

"Jaga sikapmu selama makan malam." Nyonya Muda Lazuardi bersuara.

Kiara menilik sang Ibu yang sudah siap dengan penampilannya. Malam itu Fiona mengenakan gaun hitam sederhana dengan heels merah darah sebagai poin utama. Tidak seperti biasanya, wanita itu malah membiarkan rambutnya tergerai. Sebuah kalung mutiara berukuran kecil telah bertengger pada lehernya.

Fiona meletakkan sebuah heels di sebelah sofa. "Jangan membuat masalah." Ucapnya satu kali lagi. Seakan apa yang dikatakan sebelumnya, bukanlah main-main belaka.

Kiara menghela napas. Dia bergerak turun dari undak-undak yang menyatukan jendela kaca besar dengan lantai marmer yang kini dipijaknya. Sudah cukup baginya melihat ke arah pelataran di bawah sana. "Baiklah." Tukas Kiara sambil mengangkat bahu, seakan 'membuat masalah' bukanlah sesuatu yang dengan mudah dia lakukan.

Fiona mengerutkan dahi. Dia dapat merasakan keanehan Kiara, namun tidak diucapkannya. Wanita itu bergegas pergi tanpa kata-kata.

Ketika Kiara turun ke ruang jamuan makan malam, tempat itu sudah dipenuhi banyak penghuni lain.

Keluarga yang duduk di bagian kursi paling ujung adalah keluarganya. Anak kedua Lazuardi, Rihan dan istri, beserta kedua anaknya, Keenan dan sebuah kursi kosong untuk Kiara. Mereka hadir dengan balutan pakaian hitam. Secara tidak langsung sebagai sebuah simbol glamour yang melekat diantara anggota-anggotanya.

Keluarga yang duduk di bagian tengah adalah keluarga dari anak pertama Lazuardi, Rian. Rian Lazuardi adalah simbol kebanggaan keluarga. Sebuah contoh nyata yang patut diceritakan secara turun temurun, bagaikan sebuah tokoh yang mengangkat Lazuardi pada masa kejayaan mereka. Hanya satu kekurangan Rian, umurnya tidaklah panjang. Paman Kiara tersebut sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, meninggalkan seorang istri dan seorang anak perempuan yang sebaya dengan Kiara; Lydia.

Keluarga terakhir, duduk di bagian paling ujung meja makan adalah keluarga dari si anak bungsu; Jia Lazuardi. Terlahir sebagai seorang wanita diantara kedua kakak laki-lakinya yang berperang untuk mendapatkan tahta, membuat Jia acuh tak acuh dengan bisnis keluarga. Dibandingkan meneruskan tradisi dokter dalam keluarga, Jia lebih memilih untuk menjadi seorang pelukis. Satu-satunya keluarga dengan bentuk kebebasan yang seutuhnya.

Menjadi satu-satunya alasan Kiara bersedia datang kesana tanpa perlu diseret oleh Ibunya sendiri; anak laki-laki Jia, sepupunya sendiri, Dean.

Kemudian datang sang bintang utama, Tuan Besar Lazuardi duduk sebagai seorang pemimpin diantara deretan anak dan cucunya. Meskipun Kakek Lazuardi sudah cukup berumur,  dia masih sanggup berjalan tanpa bantuan tongkat ataupun kursi roda. Tidak seperti anak-anaknya, Kakek tampil dengan sebuah baju kaos putih dan celana training yang masih memetakan bercak noda di beberapa bagian. Menandakan Kakek baru saja selesai mengurus taman bunga miliknya.

"Sepertinya memecahkan beberapa pot cukup sepadan, karena bisa melihat semuanya bisa berkumpul disini." Kakek tersenyum, melirik sekilas kearah Kiara. 

Makan malam berjalan lancar. Begitu lancar hingga membuat Kiara mengernyit dalam hati. Beberapa orang yang duduk disekitarnya mungkin tengah menyiapkan amunisi untuk saling menjatuhkan. Hingga ketika makanan penutup baru saja disajikan, bom nuklir itu  siap diledakkan.

"Sangat jarang bisa bertemu dengan Kiara, Bibi senang kau bisa datang malam ini." Rena berucap, menyinggungkan senyum manis miliknya. "Tapi apakah tidak apa-apa meninggalkan pekerjaanmu untuk datang kemari?"

Kiara mengurungkan niat untuk memotong puding yang disajikan di hadapannya. Dia kembali menegakkan punggungnya, sebelah alisnya naik sembari memikirkan apa yang akan dikatakan oleh wanita yang duduk diseberangnya itu lagi. Kiara dengan sukarela membiarkan Rena untuk merampungkan kalimatnya.

"Aku sedang cuti, jadi tidak apa-apa." Kiara tersenyum.

"Benarkah?" Rena terlihat terkejut. "Bibi belum pernah mendengar Lydia mengambil cuti. Gadis ini sepertinya benar-benar gila kerja. Dia selalu sibuk tapi masih menyempatkan diri datang ke acara ini." Ucapnya sambil menunjuk seorang gadis yang duduk di sebelahnya.

Lydia tidak memberikan gestur tolakan. Dia tetap diam dan mematung. Bagai sebuah manekin yang menerima apapun yang diutarakan kepadanya. Seakan sudah disetel oleh sang Ibu untuk tetap diam dan menerima segala pujian yang ditujukan untuknya.

Belum sempat Kiara memberikan respon apa-apa, Fiona lebih dahulu bersuara. "Beristirahat dari pekerjaan juga penting. Kupikir itu salah satu cara agar tidak terlalu terobsesi pada sesuatu." Ucap Fiona acuh tak acuh.

Kiara tersenyum simpul. Lebih memilih meneliti puding yang dihancurkannya dengan garpu. "Kurasa benar. Lydia selalu terobsesi berlebihan pada sesuatu sejak di sekolah dulu."

"Kiara, hentikan." Rihan bersuara. Suara baritone-nya terdengar pelan, namun mampu memberikan kesunyian bagi sekitarnya.

Suara dari Rihan adalah sebuah pertanda. Pertanda bagi Kiara untuk segera berhenti dan pertanda bagi Lydia untuk mulai bersuara.

"Kupikir Kiara tidak bisa membedakan mana obsesi dan mana kerja keras." Untuk pertama kalinya, Lydia bersuara. Nadanya halus namun mampu menusuk. Pandangannya lembut tetapi menyimpan sayatan tajam yang dapat melukai siapa saja yang menatapnya dalam.

Terdapat kalimat tak terbaca dalam manik hitam Kiara. Bagaimana gadis itu terdiam selama beberapa detik, sampai pada akhirnya mendongak dan membalas pandangan Lydia. Seakan tengah membisikan sebuah rahasia yang tabu bagi lakon-lakon lain di ruangan tersebut. "Kuharap itu benar-benar bukan obsesi."

Atmosfer diantara mereka berubah. Bahkan Kakek Lazuardi pun merasakan aura-aura kebencian yang semakin nyata diantara mereka. Kakek berdehem pelan, "Kenapa kalian selalu bertengkar setiap bertemu?"

Pada sisi lain meja makan, Dean terdengar menghela napas berat. Dia cukup lelah dengan urusan rumah sakit lantas harus dihadapkan dengan perang dingin seperti ini setiap bulannya. Setidaknya jika tidak dibolehkan untuk beristirahat, Dean hanya ingin sedikit ketenangan.

Berbeda dengan Dean, Jia dengan santai masih menyantap puding miliknya. Seakan apa yang tengah terjadi adalah hal biasa yang tidak perlu dirisaukan. Dia bahkan beberapa kali memberikan gestur bagi pelayan untuk menghampirinya dan mengisi kembali gelas sang suami.

Seperti yang sudah seharusnya, Lydia mengangkat suara terlebih dahulu. "Maafkan aku, Kakek. Aku tidak bermaksud seperti itu." Lydia merengut. Memasang wajah penuh dosa, meluluhkan Tuan Besar Lazuardi hingga tidak berpikir dua kali hanya untuk memperpanjang masalah.

***

Malam semakin larut. Para orang tua telah berpindah tempat, meninggalkan anak-anak mereka berkumpul di sebuah ruangan dengan balkoni dan taman di bagian dalam rumah.

Kiara tidak berniat untuk tetap tinggal, namun ingat dengan apa yang menjadi tujuan utamanya.

"Seperti biasanya kau punya banyak tenaga." Dean menghela napas. Membiarkan wajah lelahnya tersapu angin malam yang datang dari arah balkoni.

Mereka berjalan bersisian. Keduanya berhenti tepat di balkon yang menyajikan pemandangan kolam renang dan taman bunga milik Fiona. Gelapnya malam tidak meredupkan warna-warna bunga yang tengah bermekaran di bawah sana.

"Kau seharusnya tidak datang."

Kiara menyandarkan tubuhnya pada balkon. Pandangannya mengarah masuk, meneliti kedua lakon yang tengah berbicara di dalam sana. Lydia dan Keenan. Keduanya duduk bersisian di sofa, membelakanginya.

"Aku harus datang. Aku harus datang agar bisa bertemu denganmu." Gumam Kiara.

Dean berubah bingung, "Aku? Kenapa aku?"

Kiara melipat kedua tangannya ke dalam. "Aku bingung kenapa kau sangat sulit ditemui. Apakah karena kau bekerja di rumah sakit?" Kiara terlihat berpikir serius.

"Hah?"

"Kau tidak sedang menghindariku, kan? Pasti cuma firasatku saja, bukan?" Kiara tersenyum kearah Dean yang tiba-tiba menjadi gugup.

Kunjungan Kiara ke rumah sakit tempo hari sebenarnya untuk bertemu dengan Dean. Namun pemuda itu tiba-tiba ditelan oleh bumi. Sampai akhirnya Kiara mau tidak mau mendatangi Keenan untuk meminta resep obat.

Dean cepat-cepat menyahuti, "Tentu saja! Tidak mungkin aku menghindarimu. Untuk apa kulakukan hal seperti itu?" Dia terkekeh, menyadari nada bicaranya bergetar. 

Pemuda itu benar-benar tidak pandai berbohong.

"Berikan aku obatnya." Tutur Kiara pelan. "Berikan aku yang biasa. Apa yang Keenan berikan sama sekali tidak punya efek padaku." Kiara mengeluarkan sebuah plastik ziplock transparan berisi beberapa tablet obat.

Dean kembali menghela napas. Entah untuk kali keberapa malam ini. Tolong siapa saja keluarkan pemuda itu dari posisi yang lama kelamaan dapat menjeratnya. Menuruti perkataan Kiara bukanlah hal yang tepat yang dapat dia lakukan, namun menolaknya juga bukanlah jalan keluar terbaik.

***


Four seasons;
I gave you the world,
even when I didn't sure about my feeling.
Did I love you?
Did I even love you?


-until my coffee becomes cold,
it's Dandelion.

You Might Also Like

0 comments