FIRST MEETING

11:40:00 pm

Malam itu adalah pertama kalinya dalam enam tahun terakhir.

Kiara hampir men-cap pesta itu membosankan, tepat ketika pandangannya beralih kepada sosok yang kini berdiri di sebelah Keenan, kakak laki-lakinya. Mereka terlihat tengah berbincang. Entah topik apa yang berhasil membuat keduanya begitu larut dalam perbincangan, hingga sama sekali tidak menyadari seseorang yang terang-terangan memandangi keduanya.

Gadis itu mengangkat gelas kacanya. Menyesap sisa anggur di dalam gelas. Matanya seakan tak mampu beralih. Kedua lakon itu sudah menjadi fokusnya sejak beberapa saat yang lalu. Tidak berusaha untuk menutupi keingintahuannya. Seakan dengan sengaja menantang salah satu diantara keduanya untuk segera menarik pandangan dan menyadari kehadirannya.

"Kau benar-benar tidak ingat?" 

Seorang gadis lain; gadis dengan gaun merah marun dan rambut ikal yang terurai panjang disebelah Kiara kembali bersuara. "Daniel. Dia cukup populer, kau tau."

Tanpa dosa. Tidak sadar bahwa baru saja melemparkan boomerang kepada Kiara.

"Sejak kapan?" Kiara bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

"Hm?" Luna mengernyitkan dahi. Tidak begitu yakin dengan pertanyaan yang Kiara ajukan. "Sejak kapan dia populer?"

Kiara menoleh, "Sejak kapan dia dekat dengan Lydia?"

Luna menyipitkan mata. "Mereka sudah dekat saat kuliah. Tapi kupikir sejak kau pindah sekolah." Ucapnya berusaha mengingat-ingat. Tidak mudah menarik ingatan enam tahun secara tiba-tiba. Apalagi tentang sesuatu yang tidak begitu penting baginya.

"Kenapa?"

Pada akhirnya Luna merasakannya. Meskipun sedikit, gadis itu punya firasat buruk tentang apa yang akan terjadi kedepannya. Arah percakapan mereka menjadi sebuah saksi nyata. Bagaimana Kiara tiba-tiba berubah penasaran pada sesuatu yang tidak seharusnya.

Kiara mengangkat bahu, "Tidak ada."

***

"Kau yakin tidak apa-apa?"

Kiara yang sejak tadi duduk di atas meja kerja Keenan, kembali menapakkan kedua kakinya. Dia meneliti kuku tangannya yang diberi warna senada dengan rok moka yang dia gunakan. "Jika ada apa-apa, bukanlah aku yang pertama kali tau?" Ucapnya mendongak, bertemu dengan pandangan Keenan yang ternyata masih tertuju kepadanya.

Keenan menyerah. Pemuda itu menghela napas panjang. Wajah letihnya terpeta jelas, sebagai sebuah pertanda bahwa pemuda itu sama sekali belum beristirahat.

"Sudahkah aku memberitahumu, bahwa kau terlihat sangat buruk?" Ejek Kiara. "Tidakkah rumah sakit memberikanmu libur?"

Seakan tidak terima, Keenan balik menyerang. "Tidakkah kau punya pekerjaan? Bukankah sudah terlalu lama kau meliburkan diri?"

Kiara memang tidak seharusnya ada disana. Di kota itu, tepatnya. Gadis itu seharusnya sudah kembali beberapa hari yang lalu. Seperti apa yang dia katakan pada hari pertamanya saat tiba di depan apartemen Keenan, bahwa dirinya hanya akan tinggal selama satu minggu.

Sudah lewat dua minggu. Alasannya untuk tinggal karena urusan pekerjaan sudah mencapai batas yang dapat dimaklumi Keenan. Pemuda itu menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah sakit, sehingga tidak dapat mengontrol apa yang Kiara lakukan di luar sana. Namun dari sekian banyak yang dilakukan gadis itu, Keenan tahu bahwa pekerjaan bukan salah satu diantaranya.

"Tenang saja. Aku akan pergi jika urusanku sudah selesai."

Kiara merengut. Tidak percaya bahwa sampai detik ini kakaknya masih sangat perhitungan. Kiara tahu bahwa Keenan hanya tidak ingin berbagi apartemennya dengan orang lain. Meskipun pemuda itu hanya sesekali singgah disana, karena lebih memilih untuk tidur di rumah sakit.

Kiara memasukkan bungkusan obat ke dalam coat hitam yang dia gunakan. Menyempatkan diri untuk menebus obat ke apotek rumah sakit setelah meninggalkan ruangan Keenan. Kiara berdiri beberapa saat di hadapan lift. Menimbang-nimbang tombol yang akan dia tekan. Dia terlihat tidak begitu yakin. Namun ketika berhasil menghilangkan gagasan gilanya, seseorang menekan tombol lift terlebih dahulu.

Dia menoleh, mendapati seorang pemuda dengan jas putih tengah berdiri di sebelahnya. Pandangan pemuda itu lurus kearah pintu lift yang masih mengatup.

Tidak ada yang lebih mengejutkan daripada kebetulan yang diselipkan takdir diantara ketidakpastian hidup. Sama seperti apa yang tengah terjadi kepada Kiara.

Seakan sebagai sebuah pertanda bahwa alam tengah memihak kepadanya.

Kiara tersenyum simpul. Kembali menarik pandangannya. Ikut memandangi pintu lift yang tidak kunjung terbuka. "Kau Daniel, bukan?" Tanya Kiara. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku sambil satu-satu mengabsen ingatannya, namun tidak ada satupun hal istimewa yang dapat terlintas. "Kelas 3-2, tim basket sekolah,  Daniel?" Jelas Kiara, memastikan.

Meskipun tidak begitu jelas, Kiara dapat menangkap kerutan tipis pada dahi Daniel.

"Kau tidak mengenalku?" Kiara menarik tubuhnya menghadap tubuh tinggi Daniel. "Bagaimana mungkin kau tidak mengenalku? Setidaknya loker kita berada di baris yang sama."

Hanya orang yang cukup putus asa yang akan membuat komentar seperti itu. Persetan dengan kalimatnya, karena Kiara tidak punya cukup memori tentang pemuda itu. Dia hanya mengeluarkan apapun yang dapat terlintas di kepalanya.

Daniel memandangi Kiara dengan tatapan tidak terbaca. "Aku mengenalmu." Ucapnya singkat.

Kiara cukup terkejut namun dengan sengaja tidak diperlihatkan. Dia hanya mengangkat bahu, tak mau pikir panjang. "Aku melihatmu di pesta kemarin malam."

Seakan tidak ingin ada kesalahpahaman dari ucapannya, Kiara cepat-cepat menambahkan. "Aku melihatmu berbicara dengan Keenan. Ah, dia Kakakku."

"Kau adik Keenan?" Daniel bertanya.

Belum sempat Kiara memberikan respon apapun, lift di hadapan mereka terbuka. Beberapa orang terlihat bergegas keluar. Sebelum kehilangan kesempatannya, Kiara kembali menyambar. "Bagaimana pun, senang bertemu denganmu lagi. Aku duluan." Ucap Kiara sembari memasuki lift

***


23:40 pm, with mosquito bites.
-Dandelion.

You Might Also Like

0 comments