HER

Kiara.

Sebuah nama yang selalu menimbulkan tanda tanya. Dia adalah simbol keabu-abuan terbesar yang pernah ada. Dia tidak terbaca. Tidak terjamah. Tidak pernah mampu diartikan oleh pikiran Daniel.

Dia tidak  relevan bagi seorang Daniel. Sampai pada akhirnya pemuda itu menemukannya.

Hari itu, seorang gadis dengan apron basah kuyup memasuki cafeteria ditemani seorang gadis lain yang berusaha mengejarnya. Ingin segera menghentikan apapun kegilaan yang akan dibuat oleh temannya.

Potret yang tidak biasa dengan lakon yang tidak biasa. Setuju ataupun tidak, manusia pada dasarnya  pasti menyukai drama. Hingga ketika disuguhkan dengan cuma-cuma, mereka  akan menontonnya dengan suka rela.

Siang itu, ada yang lebih menarik dari sekedar minuman dingin yang menjadi antrian para siswa. Seluruh mata tertuju pada seorang gadis yang menyisakan bercak cat basah pada setiap langkah yang diambilnya. Tanpa sadar sudah mengotori lantai cafeteria dan sama sekali tidak terganggu dengan hal tersebut.

Ada sebuah hal istimewa dari rute langkah yang gadis itu pilih. Seakan sudah menargetkan seseorang jauh sebelum kedatangannya kesana.

Gadis itu berhenti pada satu titik. Berdiri tepat disebelah sebuah meja. Atmosfer disekeliling mereka menegang. Hanya menyisakan sedikit ruang untuk menerka-nerka. Apa yang akan dia lakukan?

Hanya berselang sepersekian detik, sampai segelas jus jeruk itu dijatuhkan tepat dari atas kepala Lydia. Seseorang yang normal akan langsung berteriak, menampar atau melemparkan balik minuman lain kearah musuhnya. Namun tidak dengan Lydia. Gadis itu masih mengatur napasnya satu-satu. Dia meredamnya.

Lydia mendongak, menghentakkan sendok pada genggamannya. Pandangannya merendahkan, seakan sudah cukup muak dengan omong kosongnya.

"Kau mengganggu orang lain." Lydia bersuara. Mewakilkan suara-suara lain di ruangan tersebut. Namun, seharusnya tidak dia lakukan.

Gadis menyeringai. "Aku hanya membantumu merasa lebih segar. Kupikir kau suka dengan air." Ucapnya lalu berbalik pergi, meninggalkan puluhan pasang mata yang menatapnya hingga keluar dari panggung. Beberapa diantaranya hampir memberikan tepuk tangan. Sedangkan sisanya berbisik kecil; Dia sudah gila.

"Kau sudah gila." Luna menyuarakan isi hati dari setengah penghuni cafeteria.

Gadis itu menutup lokernya. Sudah mengganti seragamnya yang basah dengan seragam olahraga. Melipat paksa seragam tersebut dengan apron hitamnya yang juga menjadi korban, kemudian membuangnya ke tempat sampah. "Kau pikir dia tidak gila?"

Luna mengejar langkahnya, "Bagaimana jika bukan Lydia yang menyuruh orang untuk menyiram-mu?"

Gadis itu terlihat berpikir. "My bad."

Setelah kepergian keduanya, dua lakon lain yang berdiri pada loker mereka memulai perbincangan.

"Siapa dia?"

"AhDia? Dia, Kiara."

Suatu siang di tahun keduanya, ketika orang-orang tengah mempersiapkan diri dalam pertempuran ujian semester. Hari itu adalah pertama kalinya Daniel melihat Kiara.

Lantas hari ini, dia melihatnya lagi.

Daniel tidak pernah merasa begitu kebingungan di dalam hidupnya. Ketika bel itu ditekan, satu-satunya orang yang seharusnya keluar adalah si pemilik. Bukan seorang gadis dengan uraian rambut berantakan, dengan kaos putih polos dan celana training hitam serta mata sipit yang masih berusaha untuk terbuka.

"Hm?" Gadis itu mendongak. "Kau mencari Dean?" Dia menerka. Tentu saja, siapa lagi yang akan dicari oleh pemuda itu selain Dean.

Hal yang lebih membingungkan Daniel adalah kenyataan bahwa gadis itu sama sekali tidak terganggu. Dia sama sekali tidak terkejut. Tidak berusaha untuk menata kembali rambutnya. Atau setidaknya tersadar tentang sekelilingnya.

"Kau menginap disini?" Daniel bertanya.

Kiara mengerang pelan, "Hm." Dia merasakan kepalanya yang terasa hampir pecah. Alkohol memang teman terburuk yang dia miliki. "Dia tidak kembali. Kau tidak tau?"

Daniel mengerutkan dahi. Terdapat beberapa hal yang ingin dia katakan, namun urung dia lakukan. "Aku harus pergi." Ucapnya pada akhirnya.

Kiara hanya mengangguk, melambaikan sebelah tangan sebagai sebuah tanda perpisahan lantas kembali menutup pintu.

Gadis itu berjalan memasuki kamar Dean, namun sempat terhenti di hadapan sebuah cermin raksasa yang tergantung di dinding. "Aku bahkan tidak tahan melihat diriku sendiri, bagaimana mungkin dia tidak melarikan diri." Gumam Kiara sambil menaiki ranjang lalu kembali terlelap.

***

"Let me tell you something about coincidences. There have to be at least three of them for it to have any meaning." -Junki to Jungun on Waikiki.


I see purple, marine, and my post note;
-dandelion.

HOSPITAL

"Jadi kapan kau kembali?"

Kiara masih bersandar pada tumpuan kursi ketika suara itu mengejutkannya. Gadis itu otomatis memasukkan ponsel ke dalam saku dan meneliti pekerjaan yang sedang menyibukkan Fiona.

Sebelah tangan wanita itu masih menggenggam sprayer kecil berisi air penuh, sedangkan tangan lainnya digunakan untuk mengangkat satu persatu daun tanaman hiasnya. Seakan tekanan berlebih dapat langsung menghancurkan mereka.

"Kau sudah terlalu lama disini. Karyawan biasa pasti sudah dipecat." Fiona masih menyirami tanaman hiasnya dengan hati-hati. "Apakah kau mendapatkan perlakuan khusus hanya karena kau pacar Juna?"

Kiara mendengus pelan. "Ibu bicara apa." Gumam Kiara malas. Sebelah tangannya memijat dahinya sendiri. Rasa pening menjalari kepala Kiara dengan cepat.

Fiona menghentikan kegiatannya sesaat. "Lalu putuskan lah."

"Putuskan? Apa?" Tanya Kiara.

Kedatangan seorang pelayan ke dalam taman bunga Fiona, membuat kedua lakon disana membisu sesaat. Pelayan dengan seragam serba hitam tersebut meletakkan dua buah cangkir teh hangat di atas meja bersama dengan satu piring penuh kue yang dipesan majikannya. Setelah menyelesaikan tugasnya, pelayan tadi segera mengundurkan diri.

Aroma dari teh chamomile menjadi sebuah pertanda bagi Fiona untuk menyudahi pekerjaannya. Wanita itu meletakkan sprayer dan duduk di salah satu kursi. Dia menyeruput teh dari cangkir untuk beberapa saat. Lantas kembali mengarah ke Kiara yang duduk di hadapannya. "Kau harus berhenti bermain-main. Kau tahu bahwa Ayahmu tidak akan setuju dengan Juna, bukan?"

Kiara menyeringai. Sama sekali tidak terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Ibunya. Seakan sudah menduga bahwa kalimat semacam itu pasti akan didengarnya suatu saat nanti.

"Ibu." Kiara tiba-tiba bersuara.

"Hm?"

"Jika suatu saat aku tetap bersikeras dengan Juna. Apakah Ibu akan diam-diam mendatanginya tanpa sepengetahuanku?" Kiara meraih cangkir miliknya. Ikut menyeruput teh chamomile favorit Fiona. Meskipun lebih memilih kopi daripada teh, namun Kiara mau tidak mau harus tetap meminumnya. Apalagi sudah beberapa hari ini dia terus dilanda insomnia.

Fiona mengerutkan dahi. Dia meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. Badan tegaknya sama sekali tidak berubah. "Jika itu harus, maka akan kulakukan."

"Lalu apakah kau akan menamparnya? Atau menyiramnya dengan air?" Kiara terlihat semakin tertarik dengan topik pembicaraan mereka.

Berbeda dengan Kiara, Fiona merasa tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Wanita itu mengernyit sambil meneliti raut wajah anaknya. Masih tidak terbaca. Sejauh yang Fiona ingat, Kiara memang enggan membuka dirinya pada orang lain. Apapun yang tengah gadis itu pikirkan, maka akan dipendamnya seorang diri. Bahkan Fiona selalu gagal untuk mengartikan tatapan kelam gadis itu.

"Apakah masih ada orang tua yang melakukan hal seperti itu?" Fiona membalas. "Ibu pikir itu tidak berkelas."

Mendengar jawaban Fiona membuat Kiara tersenyum simpul. Seakan berhasil menjawab teka-teki yang selama ini selalu dia pikirkan.

Fiona memicikkan mata. "Kenapa? Apa ada orang yang menamparmu?"

Kiara menyeringai. "Jika itu terjadi maka aku akan menamparnya kembali." Ucapnya santai.

***

Rumah sakit bukanlah tempat yang familiar bagi Kiara. Meskipun Kakek dan Ayahnya sudah bekerja di rumah sakit sejak Kiara mengenal dunia, gadis itu selalu risi dengan suasana rumah sakit. Baginya tempat itu terlalu monoton. Aromanya yang menyengat menjadi alasan lain mengapa Kiara lebih suka berdiam diri di rumah ketimbang harus mendatanginya setiap hari.

Namun entah mengapa sejak kedatangannya kembali ke kota ini, Kiara selalu mendapati dirinya kembali ke rumah sakit. Hal tersebut seperti menjelaskan bahwa orang-orang yang dicarinya tidak punya tempat singgah selain berada disana.

Satu-satunya nilai plus dari rumah sakit itu adalah sebuah cafe yang berada di lantai dasarnya. Dean adalah orang yang memperkenalkan Kiara latte di tempat itu. Kiara tahu bahwa dirinya begitu lemah dengan kopi dan bisa meminumnya terus menerus, terlebih untuk latte.

Hingga hari itupun, Kiara sudah duduk pada salah satu kursi dengan segelas ice latte yang baru saja diambil dari bartender.

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan daripada memainkan ponsel dengan ditemani segelas latte pada cafe sepi tanpa perlu khawatir suara orang yang berlalu-lalang. 

Hari sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sehingga secara rasional, jam kerja rumah sakit sudah hampir berakhir. Tinggal satu jam lagi sampai waktu kunjungan akan ditutup. Itu berarti masih ada enam puluh menit lagi sampai Kiara beranjak dari tempat itu.

"Kau benar-benar berpikir rumah sakit adalah taman bermain?" Suara sarkas itu tiba-tiba masuk ke pendengaran Kiara. Memaksa Kiara untuk mendongak dan mendapati seorang gadis dengan jas putihnya melangkah melewati tempatnya dan berhenti di depan kasir.

Kiara mengerutkan dahi. 

Hari ini adalah hari yang baik, tentu hanya sampai sebelum kedatangan Lydia. Sejujurnya apapun yang menyangkut gadis itu adalah sebuah pertanda buruk bagi hidup Kiara. Hanya mendengar seseorang menyebut namanya saja sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah kesialan.

"Kau tidak punya pekerjaan lain, selain datang kemari?" Lydia kembali menoleh kearah Kiara. Kali ini sambil menggenggam segelas americano.

"Hei, aku tidak tahu bahwa kehadiranku membuatmu begitu terganggu." Ungkap Kiara sambil memainkan jemarinya. "Bukankah seharusnya aku yang terganggu?"

Kiara terpaksa bangkit. Suasana hatinya sudah terlanjur mengeruh. Lydia bukan saja telah mengganggu waktunya yang berharga, juga merusak suasana hati yang susah payah dibangun Kiara sejak beberapa hari terakhir. Bertemu dengan gadis itu seakan telah meluluh-lantahkan pertahanannya sendiri.

Kiara tahu bahwa berdiam lebih lama disana, hanya akan berujung pada hal yang lebih buruk daripada sekedar saling menjambak.

"Ah," Kiara kembali bersuara. "Kau tidak lupa bahwa rumah sakit ini milik Ayahku, bukan?"

Kiara menatap Lydia dalam. Dapat merasakan bagaimana gadis itu mengepalkan kedua telapak tangannya. Sekuat tenaga menahan amarah hanya karena tidak setuju dengan apa yang baru saja Kiara ucapkan. 

Bagi Lydia, rumah sakit ini tetaplah milik Ayahnya. Itulah salah satu alasan mengapa dia bekerja begitu keras hanya untuk mempertahankan rumah sakit peninggalan sang Ayah. Setidaknya suatu hari nanti dapat kembali memilikinya lagi. Setidaknya tempat itu tidak akan jatuh ke tangan orang seperti, seperti Kiara.

"Kau harus mengontrol amarahmu. Sudah hampir sepuluh tahun, tetapi kau sama sekali tidak berubah." Kiara menepuk sebelah pundak Lydia. Seakan benar-benar prihatin dengan keadaan Lydia.

Lydia menjumput beberapa anak rambutnya yang terjatuh dan menjangganya ke belakang telinga. Gadis itu tersenyum. Terlalu sumringah untuk ukuran orang normal. Dia berbalik, mendapati Kiara yang sudah berjalan menjauh. 

Salah satu kesalahan yang selalu dilakukan olehnya, mengompori Kiara. Kali ini tanpa sadar, kembali dilakukannya.

"Bagaimana tanganmu?" Lydia tahu bagaimana cara menarik perhatian Kiara. Satu-satunya hal yang masih dapat menjerat gadis itu; "Kau masih merasakan sakit, bukan?"

Lydia merasakan kemenangan telah sampai dipundaknya. Dia tahu bahwa rencananya berhasil, tepat ketika gadis itu menghentikan langkahnya. "Daripada bermain-main disini, bagaimana jika kau berlatih kembali? Tidak ada yang tahu, mungkin saja-"

Belum sempat kalimat itu terampung, ice latte yang sejak tadi digenggam Kiara telah mendarat sempurna di wajah Lydia. Rambutnya berubah lepek, beberapa tetesan cokelat itu terlihat sampai ke lantai marmer di bawah mereka. Sebagian menyisakan bercak gelap pada jas putih yang dia kenakan.

Tidak ada yang dapat menggambarkan betapa terkejutnya Lydia saat itu. Dia benar-benar terdiam untuk beberapa detik. Sedang berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi pada dirinya.

Kiara menghela napas. "Aku salah. Ternyata akulah orang yang harus mengontrol amarahku." Kiara meletakkan gelas kosong di atas meja, lantas membersihkan sisa latte dari kedua telapak tangannya. 

Kemudian dia beralih kearah Lydia, secara sukarela membersihkan wajahnya dengan sapu tangan yang sama. "Ibuku berkata menyiram seseorang dengan minuman seperti ini adalah cara yang tidak berkelas." Kiara menjelaskan. "Tapi bagaimana ini? Tanganku bergerak dengan sendirinya."

Butuh beberapa detik bagi Lydia untuk mendapatkan kesadarannya kembali. Hal pertama yang dia lakukan adalah menepis tangan Kiara menjauhi wajahnya. Rahang-rahang gadis itu mengeras. Dia masih berusaha untuk memedam amarahnya sendiri. Apapun yang terjadi, Lydia tidak boleh kehilangan kontrol. Tidak di rumah sakit ini.

Kiara menyeringai. "Oh, bukanlah itu Daniel?"

Lydia menoleh. Terdapat dua orang yang sedang berjalan kearah mereka. Salah satu diantaranya berjalan lebih cepat.

"Bukankah dia orang yang selalu kau kejar dari dulu?" Kiara melipat kedua tangannya di depan. "Bukanlah sudah saatnya untuk mendapatkannya?"

"Tutup mulutmu." Lydia bersuara.

Kiara melangkah pelan, setengah berbisik. "Atau haruskah kutunjukkan bagaimana cara memenangkan hatinya hanya dalam waktu singkat?"

"Kau, benar-benar-" Sebelah tangan Lydia sudah bergerak naik. Namun gerakannya tertahan oleh tangan Dean yang tiba-tiba sudah menyangganya dari belakang.

"Apa yang kalian lakukan?!" Pemuda itu berusaha melerai. "Apakah tidak ada hal lain yang bisa kalian lakukan selain bertengkar?"

Lydia menepis Dean. Gadis itu melangkah pergi meskipun kakinya sempat tertahan ketika matanya bertemu dengan mata pemuda lain yang berdiri tidak jauh diantara mereka. 

Daniel diam seribu bahasa. Tidak bertanya. Tidak juga mencegah Lydia untuk tidak meninggalkan tempat itu.

***

"Apa yang kau lakukan?" Dean bertanya setelah berhasil mengiring Kiara keluar dari bangunan rumah sakit. Angin malam menusuk kulit keduanya, membuat pemuda itu meringis. Baru saja teringat bahwa dia hanya menggunakan kemeja dan jas putih untuk menyelimuti tubuhnya.

"Kau tahu Ayahmu tidak akan diam jika dia melihat apa yang baru saja kau lakukan?" Dean mengeratkan jas miliknya, meskipun hal tersebut tidak begitu menghangatkan.

Kiara tidak mengerti bagaimana pemuda itu selalu memperlihatkan reaksi yang berlebihan. "Dia tidak akan tahu. Kecuali jika kau memberitahunya."

"Kau pikir aku satu-satunya orang yang melihat kalian?" Dean berseru.

Ada sebuah 'ah' panjang yang keluar dari mulut Kiara, sebagai pertanda bahwa gadis itu baru mengerti situasi yang akan dia hadapi. Meskipun sudah cukup mengerti dengan banyak kemungkinan yang dapat terjadi setelahnya, Kiara tetap memutuskan untuk tidak peduli.

"Berikan aku kunci apartemenmu." Kiara memerintah. Sebelah tangannya diarahkan ke hadapan Dean, seakan menyuruh pemuda itu segera menyuguhkan benda kecil yang dia maksud.

Dean tidak langsung mengiyakan. "Kenapa kau perlu kunciku?"

Kiara mendengus malas. "Kau tidak pulang, kan?"

"Hm." Dean mengangguk pelan. "Lalu apa hubungannya denganmu?"

"Aku mau menginap. Cepat berikan." Perintah Kiara semakin memaksa. Tingkat kesabaran Kiara bukanlah hal yang tidak berujung. Sebaliknya, milik gadis itu adalah yang akan paling cepat menghilang.

Dean terlihat tidak yakin, namun tetap merogoh sakunya. "Bukankah kau tinggal di apartemen Keenan?" Tanyanya sambil memberikan sebuah kunci dengan mainan menara Eiffel.

Kiara mengangguk dan menerima kunci tersebut dengan sebuah senyuman. "Dia tidak punya shift malam ini. Aku  berkata padanya bahwa aku akan pulang."

Arah pembicaraan keduanya semakin membuat Dean kebingungan. Pemuda itu masih mengerutkan dahi. Sama sekali tidak mengerti dengan apa yang berusaha Kiara jelaskan. "Jadi kenapa kau menginap di tempatku, jika seharusnya sekarang kau berada di rumah?"

"Kau gila?" Kiara menepuk ujung kepala Dean, setelah bersusah payah mencapainya sambil berjinjit.

Dean otomatis meringis dan langsung memegangi kepalanya. Gadis itu sama sekali tidak berubah. Tangannya masih ringan seperti biasa. Meskipun Dean sudah memiliki tubuh yang jauh lebih tinggi daripada Kiara, sama sekali tidak membuat gadis itu gentar. Dia masih sama memukulinya dengan sesuka hati.

"Bagaimanapun, aku tidak akan pulang ke rumah." Tukas Kiara mantap.

Masih memegangi ujung kepalanya dengan satu tangan, Dean kembali bersuara. "Lalu kau mau kemana? Kau tidak pergi hanya untuk menghindari Keenan, bukan?"

Dean mengenal Kiara. Gadis itu tidak akan berbohong jika tidak punya sesuatu yang ingin disembunyikannya.

Kiara memasukkan kunci apartemen Dean ke dalam saku coat-nya. "Aku mau pergi ke club." Ucap Kiara sebagai sebuah kalimat penghujung. Dia berjalan menjauh, sebelah tangannya dilambaikan sebagai tanda perpisahan.

"Hei! Ini sudah malam!" Dean setengah berteriak.

Kiara memasukkan kedua tangannya pada saku coat, lantas berbalik. "Kau pikir kenapa mereka menamainya club malam?!"

***

I drowned myself in memories, but it didn't help at all.
with cheese, coffee and yui's; it's happy line.
-dandelion

HIM

Kiara tidak tahu siapa Daniel. Meskipun mereka bersekolah di tempat yang sama, Kiara pikir mereka belum pernah berpapasan. Seakan-akan mereka berdua hidup di dua sisi dunia yang berbeda. Kiara dapat menjamin bahwa dia benar-benar tidak mengenalnya, begitu pula dengan pemuda itu.

Kiara belum pernah mendengar apapun tentang Daniel sampai hari itu. Satu hari sebelum hari Valentine.

Musim dingin hampir berakhir. Saat itu suhu masih berada beberapa derajat di bawah nol, namun hari itu benar-benar hari yang kacau.

Para murid pulang lebih awal. Berbondong-bondong kembali ke rumah masing-masing. Beberapa yang tidak ingin repot, memilih untuk membeli cokelat di toko-toko kue. Sedangkan yang lainnya memilih untuk membuatnya sendiri. Beberapa diantara mereka bahkan baru mencobanya untuk pertama kali. 

Percobaan pertama untuk cinta pertama.

Bagi seorang gadis berumur enam belas tahun yang baru masuk masa-masa kasmaran, hal tersebut adalah hal yang lumrah terjadi.

Sesuatu yang tidak lumrah adalah apa yang terjadi pada Kiara. Di saat orang lain telah sibuk di rumah mereka masing-masing, gadis itu baru saja keluar dari ruang club. Kedua tangannya baru saja dibersihkan dari sisa-sisa cat ketika dia berhenti pada deretan loker senior.

Loker senior terletak terpisah dari loker kelas satu dan dua. Letaknya berada di paling ujung bangunan. Dekat dengan ruang perpustakaan dan ruang kelas senior. Dikarenakan lokasi yang berbeda, tahun ini pun letak loker kelas dua yang naik menjadi senior kembali diacak.

Loker Kiara tidak lagi berada di sebelah loker Luna, melainkan bersisian dengan orang-orang yang bahkan baru pertama kali gadis itu lihat, meskipun sudah dua tahun lebih memijakkan kaki di sekolah yang sama.

Kiara membuka lokernya. Sebuah obyek yang tersemat di dalam sana mengalihkan perhatiannya. Kiara mengernyit sambil meraih sebuah kotak berpita dengan aksen sederhana. Tidak seperti kotak warna-warni, mengkilap, berbentuk hati dan merah muda, kotak yang kini berada di genggaman Kiara hanyalah sebuah kotak biasa berwarna biru muda.

Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan. Berharap tidak sedang masuk ke dalam sebuah hidden camera prank atau semacamnya.

Sejujurnya Kiara tidak begitu penasaran dengan isi dari kotak tersebut. Setelah beberapa lama menimbang-nimbang, pandangan Kiara tertuju pada sebuah loker lain yang berjarak dua loker dari miliknya. Di pintu loker sudah tersematkan berbagai macam bunga hingga cat hijau dari loker tersebut sudah tidak dapat terlihat lagi.

Kiara mendekati loker tersebut. Sedikit berjinjit dan menarik salah satu bunga untuk dapat melihat deretan nama yang tertulis disana.

"Daniel Ansell."

Kiara tidak berniat untuk membuka apalagi menerima kotak biru tersebut. Lagipula satu-satunya yang terpikirkan olehnya adalah membuang kotak tersebut ke tempat sampah.

Tanpa pikir panjang, Kiara membuka loker Daniel lantas menyelipkan kotak biru tadi di antara beberapa kotak lain yang telah mengisi kekosongan di dalam.

Itu adalah pertama kalinya Kiara mengetahui Daniel Ansell.

Sebelumnya, orang di balik nama Daniel Ansell adalah asing yang tidak terjamah radarnya. Namun dikarenakan apa yang Kiara lakukan, nama itu terasa semakin familiar di otaknya. Kiara mulai menyadari bahwa orang-orang secara berkala menjadikan pemuda itu sebagai topik pembicaraan mereka.

Sampai pada akhirnya Kiara juga tahu bahwa pemuda itu adalah pemuda yang selalu dikejar-kejar oleh Lydia; musuh terbesarnya.

***

Pintu minimarket itu terbuka. Dari beberapa orang di dalam sana, hanya sang kasir yang menyadari kehadiran Kiara. Selebihnya sama sekali sibuk dengan urusan mereka masing-masing, termasuk pemuda tersebut.

Kiara mengambil kaleng minuman dingin dan beranjak ke kasir. Setelah membayar belanjaannya, dia melewati pintu masuk dan beralih menuju kearah si pemuda yang duduk pada salah satu kursi. Matanya sibuk memandangi lampu lalu lintas di luar sana.

"Kita bertemu lagi." Kiara menyapa. Dia tersenyum ketika mata mereka bertemu.

Kiara duduk di sebelah Daniel. Dia membuka kaleng minuman dan menyeruput cola-nya perlahan. "Orang-orang berkata bahwa pertemuan pertama dan kedua adalah kebetulan. Tetapi tidak dengan pertemuan ketiga. Pertemuan ketiga adalah sebuah takdir."

Daniel terdiam sesaat. Dia berusaha mencerna maksud dari perkataan Kiara, lantas menyeringai setelahnya. "Lalu?"

"Ini adalah pertemuan ketiga kita. Meskipun aku sama sekali tidak mempercayainya, tetapi apakah ini juga adalah takdir?" Kiara menerawang.

"Bisa jadi." Jawab Daniel.

Ada jeda panjang di antara mereka berdua, setelah suara baritone Daniel meluncur dan mengheningkan suasana. Seperti sebuah bom nuklir yang berhasil membunuh seluruh kehidupan di atmosfer sekeliling mereka. Hingga pada akhirnya ponsel Kiara bergetar.

Daniel menyadari ponsel di atas meja meraung untuk waktu yang cukup lama. "Kau tidak mengangkatnya?"

"Hm?" Kiara mengurungkan niat untuk kembali menegak cola-nya. Gadis itu menoleh kearah Daniel. "Aku sengaja. Akan kuangkat jika dia menelepon lagi." Ucap Kiara santai.

Benar saja. Setelah beberapa saat, ponsel hitam itu kembali bergetar dan memunculkan deretan nama yang serupa. Pada getaran ke empat, Kiara memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Hm?"

"Kapan kau kembali?"

Kiara mengerutkan dahi. Kaleng cola-nya kembali diletakkan di atas meja. "Haruskah aku memberitahumu?"

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Aku yakin sudah menyelesaikan semuanya sebelum pergi." Tukas Kiara sambil memperhatikan kuku pada jemarinya.

"Bagaimana denganku?"

Kiara menyeringai. "Jika aku jadi dirimu, maka aku tidak akan bertanya hal itu." Ucap Kiara malas. "Jika tidak ada lagi, kututup." Tambahnya langsung meletakkan kembali ponsel tersebut di atas meja. Namun dengan sengaja tidak memutuskan sambungan.

Kiara menoleh kearah Daniel, "Itu bos lamaku. Dia benar-benar mengganggu."

"Kau baru berhenti bekerja?" Daniel mengerutkan dahi. 

"Hm." Kiara mengangguk. "Aku tidak suka dengan bosku. Dia selalu menggangguku." Ucapnya sambil kembali meraih ponsel yang sejak tadi digeletakkan di atas meja lantas diam-diam memutus sambungan telepon. 

Baginya sudah cukup. Dengan sengaja memperdengarkan suara Daniel pada pemuda itu sudah lebih dari cukup untuk Kiara.

"Kupikir kau sedang cuti." Daniel bergumam.

Tidak hanya Daniel yang akan berpikir seperti itu. Seluruh dunia pun akan mengeluarkan pendapat yang serupa. Pasalnya gadis itu lah orang yang menyebarkan kebohongan tersebut. Dia sama sekali tidak pernah mengatakan berhenti dari pekerjaannya, kecuali pada Luna. Lantas kini pada seorang pemuda yang baru beberapa kali ditemuinya, tanpa sengaja.

"Siapa yang memberitahumu? Dean?" Kiara menebak.

Daniel sama sekali tidak berkilah. "Hm." Ucapnya sambil mengangguk. "Dia juga menyuruhku untuk berhati-hati denganmu."

Kiara bersumpah akan membunuh Dean suatu hari nanti.

***


-It was raining that night when I wrote this. I always love the sounds, the smells and the cold of it.
It's Dandelion.

IS IT FATE?

Kiara memasuki bangunan putih di hadapannya. Semerbak aroma khas rumah sakit seketika menyambar indera penciumannya. Tidak seperti kunjungan sebelumnya, kali ini dia memilih untuk tidak menaiki lift karena beberapa alasan. Pertama, lantai yang dia tuju hanya berjarak satu lantai dengan tempatnya sekarang. Lalu yang kedua, hanya untuk berjaga-jaga agar tidak berpapasan dengan orang yang salah. Seperti Sang Ayah atau paling tidak Keenan misalnya.

Setelah menaiki anak tangga terakhir, Kiara bergegas mendekati meja resepsionis. Beberapa perawat tengah sibuk meneliti monitor di hadapan mereka. Sedangkan yang lainnya menuju ke ruangan pasien, seperti biasanya melakukan tugas hariannya.

Kiara menempelkan tubuhnya kearah meja resepsionis yang tingginya hampir tiga perempat tinggi tubuhnya sendiri.

Seorang perawat menyadari kehadiran Kiara. Dia mendongak, "Ada yang bisa kubantu?"

"Kau tau dimana dokter Dean? Dokter Dean Nasution?" Kiara bertanya. "Aku ada janji bertemu dengannya, tapi dia tidak ada di ruangannya." Jelas Kiara sambil sesekali menoleh ke kiri dan kanan.

"Ah, dokter Dean sedang ada operasi." Perawat dengan seragam biru muda itu menjelaskan. Dia menoleh kearah jam dinding yang diletakkan pada dinding bagian barat, "Operasi-nya akan selesai sepuluh menit lagi."

"Terima kasih." Kiara tersenyum. "Ah, aku bisa menunggunya disini, kan?"

"Tentu saja." Tukas sang perawat, kembali memperhatikan pekerjaannya.

Beberapa menit berlalu, Kiara masih tetap pada posisinya. Namun kali ini membiarkan punggungnya bersandar pada meja tinggi tersebut. Matanya masih sibuk mengutak-atik ponsel pada genggamannya. Sedangkan headset telah tersemat pada salah satu telinganya.

Kiara masih sibuk dengan dunianya sendiri, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang. Pemuda tersebut berhenti sejenak. Dia menghela napas terlebih dahulu sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Dia berjalan ke meja resepsionis.

"Bisa kuminta data pasien ruangan 203?" Pemuda itu bertanya kepada perawat yang sama. Wanita berseragam biru muda yang umurnya mungkin sudah lebih dari tiga puluh tahun.

Perawat Sarah menyerahkan sebuah map plastik, "Ada apa? Bukankah itu pasien dokter Lydia?"

Nama itu seperti sebuah sinyal yang selalu dapat tertangkap radar Kiara. Gadis itu mendongak. Seakan baru saja terpanggil. Kiara menyerukan kata 'oh' ketika matanya menangkap sosok pemuda yang telah berdiri di sebelahnya. Tanpa suara.

"Kita bertemu lagi." Sapa Kiara singkat. Kembali menatapi layar ponsel yang lebih menarik perhatiannya.

Daniel masih meneliti beberapa lembar kertas di hadapannya, "Apa yang kau lakukan disini?"

"Menunggu Dean." Ucap Kiara jujur.

"Dia sedang melakukan operasi."

Kiara masih dalam mode tak acuhnya. "Hm. Aku tau."

Ketimbang dua lakon yang terlibat, Sarah terlihat lebih tertarik mendengar perbincangan di antara mereka. "Kalian, saling mengenal?"

Baru saja Daniel akan berbuka suara, Kiara cepat-cepat berbalik dan menyambar. "Kami teman satu sekolah." Ucapnya sambil tersenyum.

Dari ujung lorong, muncul sosok Dean yang masih menggunakan pakaian operasi. Dia melepaskan penutup kepalanya. Melambaikan sebelah tangan sebagai isyarat kepada kedua orang di depan meja resepsionis.

Tidak perlu waktu lama bagi Kiara untuk segera tersadar. "Ah, aku harus pergi. Sampai jumpa Daniel." Ucap Kiara sambil setengah berlari kearah Dean.

Dean menunggu gadis itu sampai berdiri tepat di sebelahnya, kemudian mensejajarkan langkah mereka. Saling bersisian. "Kau kenal Daniel?" Tanya pemuda itu setengah berbisik.

Kiara tersenyum kearah Dean, "Kau bawa yang kuminta?" Dia balik bertanya. Sekaligus sebagai sebuah tamparan bagi Dean, seakan gadis itu baru saja mempertegas bahwa hal yang dia tanyakan bukanlah urusannya.

Daniel memandangi mereka sampai keduanya menghilang di balik lorong. Dalam diam. Tanpa suara. Hingga perawat di sebelahnya menyadarkannya, "Siapa dia?"

"Pacar Dokter Dean?" Sarah menambahkan kesimpulannya sendiri.

Mendengar ucapan Sarah membuat Daniel mengernyit bingung. Hanya karena seorang gadis bertemu dengan seorang laki-laki, bukan berarti mereka memiliki hubungan khusus bukan?

***

Pagi itu cerah. Tidak berawan. Tidak berpolusi. Atau paling tidak belum.

Baru pukul delapan pagi. Awamnya orang-orang baru saja mengenakan kemeja putih mereka. Rapi, bersih dan wangi. Namun bertolak belakang dengan orang lain, gadis itu sudah dipenuhi oleh bercak tanah di sekujur apron hitam yang melindungi tubuhnya.

Sekali lagi dia memisahkan beberapa tanaman hias yang terlalu rimbun. Kemudian meletakkannya pada polybag yang berbeda. Dia sudah bekerja sekitar satu jam dan menghasilkan lebih dari dua puluh polybag yang siap untuk dijual kembali.

Suara lonceng yang otomatis terdengar ketika pintu tokonya terbuka, membuat gadis itu berseru ceria. "Selamat datang!" Tukasnya sambil menoleh ke belakang.

Senyum yang terpeta di wajah manisnya seketika harus pudar, menyadari bahwa seseorang yang baru saja datang dan menarik sebuah kursi dan duduk pada salah satu meja bukanlah seorang konsumen.

Luna menghela napas. Seharusnya sadar bahwa tidak ada konsumen yang datang sepagi ini. Satu-satunya orang yang akan mengganggunya hanyalah gadis itu.

"Aku membelikanmu kopi." Kiara kembali menyeruput latte hangatnya. Pandangannya sibuk meneliti setiap sudut toko milik Luna. "Kau punya mata yang baik untuk bunga."

Luna memindahkan sebuah tanaman mawar ke dekat meja Kiara, "Jadi hal bodoh apa yang sudah kau lakukan?"

"Aku bahkan belum melakukan apapun." Kiara mengangkat bahu, seakan apapun yang sedang dia rencanakan bukan termasuk kategori bodoh yang sedang dibicarakan Luna.

Setelah Luna berhasil menyusun tanaman mawar di dekat pintu toko menjadi beberapa baris sesuai dengan warna bunga yang mereka miliki, gadis itu melepaskan sarung tangannya dan duduk pada kursi di seberang Kiara. "Ku dengar kau meminta obat pada Dean lagi."

"Apakah dia tukang gosip?" Cerca Kiara.

Luna menghela napas. "Sudah berapa kali kukatakan untuk mencari pekerjaan lain. Aku tahu hal seperti ini pasti akan terjadi."

Kiara sudah cukup mengerti bagaimana kekacauan di dalam hidupnya. Dia sudah cukup banyak mendapatkan wejangan dari orang-orang dan sepertinya enggan untuk menambahkan hal tersebut ke dalam memorinya lagi.

Dia lebih memilih untuk meneliti deretan mawar yang ditata oleh Luna. Beberapa diantaranya belum berbunga, beberapa yang lain sudah memperlihatkan kuncup dan sisanya baru saja mekar. Bagaimana bisa bunga-bunga itu menunjukkan variasi warna yang berbeda, padahal mereka adalah satu kesatuan yang serupa?

"Apa kau membuka lowongan pekerjaan?" Kiara menarik pandangannya, malas.

Luna merasa darah di tubuhnya naik dengan cepat. "Kau tidak mendengarkanku?"

"Aku sudah berhenti." Kiara meneliti kukunya yang kini diberi warna merah gelap. "Itu sebabnya aku datang kemari. Aku tidak benar-benar mengambil cuti."

Pandangan Luna melemah. Sejujurnya gadis itu tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. "Apakah itu semakin buruk?" Tanyanya perlahan. "Ah, maksudku kau bahkan tidak menghiraukannya dan terus meminta obat yang sama pada Dean."

Kiara tersenyum. "Bukan seperti itu. Aku baik-baik saja."

"Benarkah? Lalu kenapa?"

"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan." Kiara mengangkat bahu. Kembali menyandarkan diri pada tumpuan kursi.

***

Ada sebuah alasan mengapa Kiara enggan membagi ceritanya. Tentang kedatangannya, tentang tujuannya, bahkan tentang masalah yang menimpanya.

Itulah salah satu sebab mengapa gadis itu tidak menceritakan Luna seluruh bagian dari kisahnya. Hanya sebagian kecil yang mampu Kiara bagikan, namun hal tersebut sudah cukup mewakili akar dari permasalahan yang sedang dia hadapi.

Baginya datang ke kota ini setelah sekian lama menghilang adalah salah satu keajaiban yang tidak bisa diabaikan. Itulah mengapa orang-orang begitu tertarik dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Seperti tahun lalu, Fiona bahkan harus mengancam untuk memutus seluruh kartunya, apabila gadis itu tidak datang ke acara ulang tahun sang Kakek.

Sebegitu bencinya Kiara pada kota ini; lantas apa yang menyebabkan gadis itu rela menginjakkan kakinya kembali tanpa ancaman Ibunya?

Ponsel Kiara bergetar. Gadis itu berhenti pada persimpangan jalan. Lampu lalu lintas baru saja berubah hijau. Membuat para pejalan kaki sama-sama berhenti pada trotoar jalan.

"Hm?" Kiara meletakkan ponsel pada sebelah telinganya.

"Kau keluar?!" Suara seorang gadis terdengar dari ujung sambungan. Nada terkejutnya bahkan mengagetkan dirinya sendiri. "Bagaimana bisa kau keluar? Tidak. Tidak. Kupikir kau sedang cuti. Bukankah kau cuti?" Tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih pelan.

Kiara mengernyit. "Apa yang sedang kau bicarakan?"

Jean menghela napas. "Kupikir kau sedang cuti karena masalah keluarga. Wah, aku bahkan menyumpahimu setiap hari. Bagaimana mungkin kau cuti sedangkan kami bekerja tanpa diberi tidur. Tetapi barusan aku tidak sengaja menemukan surat pengunduran dirimu di meja direktur. Apa maksudnya ini?"

"Hm." Kiara mengangguk, meskipun tahu betul lawan bicaranya tidak dapat melihatnya. "Aku memang keluar. Siapa yang mengatakan aku sedang cuti?"

Jean kembali bersuara cepat, "Tentu saja direktur."

"Juna mengatakannya?" Kiara mengerutkan dahi. "Baiklah. Akan kuurus semuanya."

Kiara kembali memasukkan ponselnya tepat ketika lampu lalu lintas kembali berubah. Dia melangkah cepat, beriringan dengan beberapa pejalan kaki lainnya. Setelah sampai di seberang jalan, Kiara mendongak sambil merapal dalam hati tulisan minimarket di atas sana. Gadis itu meletakkan sebelah tangannya di atas untuk menghalangi silaunya sinar matahari, namun tidak sengaja memfokuskan pandangan pada seseorang yang berada di dalam minimarket.

"Dia lagi?" Kiara bergumam. "Tidakkah sesuatu seperti ini bisa dikategorikan sebagai takdir?"

***


Not all the roses smell nice tho,
not you, not her.


with me on my busiest time but I update anyway,
-dandelion.